Setelah merdeka Indonesia dinilai memiliki kekuatan militer yang
cukup kuat sebab pandangan politik luar negri Indonesia pada jaman
Soekarno lebih condong ke komunis dan anti barat sehinga Uni Soviet
yang merupakan negara komunis terbesar waktu itu memberikan sokongan
dana dan peralatan militer secara besar besaran kepada Indonesia.
Nah berikut ini ada 3 Invasi Militer yang pernah di lakukan Indonesia
ke Negara Lain Setelah Indonesia Merdeka, kamu mau tahu apa aja itu
simak berikut ini.
1. Invasi Militer ke Timor Leste
Operasi Seroja adalah sandi untuk invasi Indonesia ke Timor Timur
yang dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Pihak Indonesia menyerbu
Timor Timur karena adanya desakan Amerika Serikat dan Australia yang
menginginkan agar Fretilin
yang berpaham komunisme tidak berkuasa di Timor Timur. Selain itu,
serbuan Indonesia ke Timor Timur juga karena adanya kehendak dari
sebagian rakyat Timor Timur yang ingin bersatu dengan Indonesia atas
alasan etnik dan sejarah.
Angkatan Darat Indonesia mulai menyebrangi perbatasan dekat Atambua
tanggal 17 Desember 1975 yang menandai awal Operasi Seroja. Sebelumnya,
pesawat-pesawat Angkatan Udara RI sudah kerap menyatroni wilayah Timor
Timur dan artileri Indonesia sudah sering menyapu wilayah Timor Timur.
Kontak langsung pasukan Infantri dengan Fretilin pertama kali terjadi di
Suai, 27 Desember 1975. Pertempuran terdahsyat terjadi di Baucau pada
18-29 September 1976. Walaupun TNI telah berhasil memasuki Dili pada
awal Februari 1976, namun banyak pertempuran-pertempuran kecil maupun
besar yang terjadi di seluruh pelosok Timor Timur antara Fretilin
melawan pasukan TNI. Dalam pertempuran terakhir di Lospalos 1978,
Fretilin mengalami kekalahan telak dan 3.000 pasukannya menyerah setelah
dikepung oleh TNI berhari-hari. Operasi Seroja berakhir sepenuhnya pada
tahun 1978 dengan hasil kekalahan Fretilin dan pengintegrasian Timor
Timur ke dalam wilayah NKRI.
Selama operasi ini berlangsung, arus pengungsian warga Timor Timur ke
wilayah Indonesia mencapai angka 100.000 orang. Korban berjatuhan dari
pihak militer dan sipil. Warga sipil banyak digunakan sebagai tameng
hidup oleh Fretilin sehingga korban yang berjatuhan dari sipil pun cukup
banyak. Pihak Indonesia juga dituding sering melakukan pembantaian pada
anggota Fretilin yang tertangkap selama Operasi Seroja berlangsung.
2. Invasi Militer ke Papua Barat
Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat,
adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan
wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno
(Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara
Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto
diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan,
mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan
Papua bagian barat dengan Indonesia.
Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3
kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang
membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel
Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli pada posisi
4°49′ LS dan 135°02′ BT. Menjelang pukul 21:00 WIT, Kolonel Mursyid
melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2
kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak,
dimana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI melanjutkan laju
mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat
terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung
pada parasut. Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di
dekat KRI Harimau.
Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun
tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk
mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus
membelok ke kanan. Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar
untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul.
Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan
terakhirnya yang terkenal, “Kobarkan semangat pertempuran”.
KRI Irian, Kapal perang terbesar yang pernah di miliki indonesia (hanya
ada 3 di dunia, 2 di uni soviet 1 di Indonesia), kapal perang raksasa
ini juga ambil bagian dalam operasi Trikora dalam pembebasan papua barat
Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi
infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda.
Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan
tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun operasi ini hanya
mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada
malam hari. TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya
yang merupakan operasi militer terbesar dalam sejarah Indonesia. Lebih
dari 100 kapal perang, ribuan artileri berat termasuk 300an tank dan
16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
Sialnya sebelum Indonesia sempat menyerang papua barat pesawat
mata-mata Amerika berhasil memotret konsentrasi militer sangat besar di
laut ambon, Amerika yang khawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil
keuntungan dalam konfik ini dan kemungkinan lain yang lebih besar yaitu
perang dunia 3 karena saat itu Indonesia disokong besar-besar dibidang
militer oleh Uni Soviet yang menjadi musuh bebuyutan Amerika yang
membela Belanda, Sehari kemudian Amerika Serikat mendesak Belanda untuk
berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan
New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya
mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung
penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.
3. Invasi Militer ke Malaysia
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio
mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap
Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan
militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar
propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963
di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno
mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya: Pertinggi
ketahanan revolusi Indonesia, Bantu perjuangan revolusioner rakyat
Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di
Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga
meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk
mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang
diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit
komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan
Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik
senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan
khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000
pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga
tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi
2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya
Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964
pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52
tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh
pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga
Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno
menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Pada
pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28
Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat
Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan
Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih
5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna.
Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal.
Peristiwa ini dikenal dengan “Pengepungan 68 Hari” oleh warga Malaysia.
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia
setelah berlangsungnya G30S. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan
Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan
peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia
dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan
berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11
Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Translate
Senin, 15 Juli 2013
PROSES KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA
I Janji Perdana Menteri Koiso
Sejak
tahun 1944 posisi Jepang dalam perang Asia Timur Raya terus terdesak,
bahkan berbagai pulau di sekitar Irian telah jatuh ke tangan Sekutu.
Sekutu terus menyerbu lewat serangan udaramya di kota kota di wilayah
Indonesia seperti Ambon, Makasar, Menado dan Surabaya. Akhirbya tentara
Sekutu berhasil mendarat di Balikpapan sebagai kota minyak. Pertahanan
Jepang sudah rapuh dan bayangan kekalahan sudah semakin nyata. Dalam
kondisi demikian, Jepang masih berusaha menarik simpati bangsa
Indonesia, yaitu dengan menjanjikan kemerdekaan di kemudian hari.
Pada
tangga l7 September 1944 di dalam sidang istimewa Parlemen Jepang di
Tokyo, Perdana Menteri Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur
(Indonesia)diperkenankan merdeka di kelak kemudian hari. Menghadapi
situasi yang gawat tersebut, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa
dibawah pimpinan Letnan Jendral Kumakici Harada berusaha meyakinkan
bangsa Indonesia tentang janji kemerdekaan. Pada tanggal 1 Maret 1945
diumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut dengan Dokuritsu
Junbi Cosakai.Maksud dan tujuan dibentuknya BPUPKI adalah untuk
mempelajari dan menyelidiki hal hal penting berkaitan dengan segala
sesuatu yang menyangkut pembentukan Negara Indonesia Merdeka.
Yang
diangkat sebagai ketua BPUPKI adalah dr.K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat,
dengan dibantu oleh dua orang ketua muda, yaitu seorang Jepang yang
menjabat sebagai Syucokan Cirebon bernama Icibangase dan R.P Suroso
sebagai kepala secretariat dengan dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr.
A.G.Pringgodigdo. Anggota BPUPKI 60 orang ditambah 7 orang Jepang tanpa
hak suara. Dalam hal ini Ir.Sukarno tidak menjadi ketua, karena ia ingin
lebih aktif dalam berbagai diskusi. Pelantikan anggota BPUPKI dilakukan
pada tanggal 28 Mei 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun raja
Jepang (Teno Heika). Pelantikan anggota BPUPKI dihadiri oleh seluruh
anggota dan dua orang pembesar Jepang, yaitu Jendral Itagaki dan Jendral
Yaiciro Nagano. Pada saat peresmian ini bendera merah putih dikibarkan
disamping bendera Jepang Hinomaru.
II. Penyusunan Dasar Negara Dan Rancangan Undang Undang Dasar.
Setelah
anggota BPUPKI dilantik, dimulailah bersidang. Dalam hal ini tugas
BPUPKI adalah menyusun Dasar dan Konstitusi untuk Negara Indonesia yang
akan didirikan. BPUPKI bersidang dalam dua tahap,
yaitu sidang pertama atnggal 29 Mei-1 Juni 1945,yang bertempat di
gedung Chou Sangi In, Jalan Pejambon 6 Jakarta, sedangkan sidang kedua
tanggal 10 – 17 Juli 1945.
Dalam
sidangnya yang pertama dibahas masalah asas dan dasar Negara Indonesia
Merdeka. Dalam persidangan itu ditekankan bahwa sesuatu yang akan
menjadi dasar Negara hendaknya dicari dan digali dari nilai nilai yang
sudah berakar kuat dihati dan pikiran rakyat , serta sudah tumbuh subur
pada seluruh rakyat Indonesia, sehingga dasar Negara itu dapat diterima
secara bulat dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Beberapa
tokoh yang berpidato untuk mengusulkan konsep tentang dasar Negara
Indonesia adalah Mr.Muh.Yamin, Prof. Supomo dan Ir. Sukarno.
Pada
sidang hari pertama, yaitu tanggal 29 Mei 1945, Mr.Moh. Yamin dalam
pidatonya mengemukakan lima asas sebagai dasar Negara Indonesia, yaitu :
1. Perikebangsaan
2. Perikemanusiaan
3. Periketuhanan
4. Perikerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Pada tanggal 31 Mei pada sidang berikutnya Prof. Supomo dalam pidatonya mengemukakan dasar Negara sebagai berikut :
1. Paham Negara kesatuan
2. Warga Negara hendaknya tunduk pada Tuhan dan supaya setiap saat ingat kepada Tuhan
3. Sistem badan musyawarah
4. Ekonomi Negara bersifat kekeluargaan
5. Hubungan antar bangsa bersifat Asia Timur Raya
Adapun
pada persidangan terakhir, yaitu pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno
mengusulkan dasar falsafah Negara Indonesia merdeka terdiri dari lima
asas dan diberi nama Pancasila yang bunyinya :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sambil menunggu masa sidang berikutnya, maka 9 anggota BPUPKI membentuk
panitia kecil, kesembilan orang tersebut adalah Ir. Sukarno. Drs. Moh.
Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji
Agus Salim. Mr. Ahmad Subarjo. KH A. Wachid Hasyim dan Mr. Moh.
Yamin, dengan diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia kecil atau yang juga
disebut dengan panitia sembilan tersebut terus bekerja keras merumuskan
rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar, yang didalamnya nanti harus
mengandung Asas dan Tujuan Negara Indonesia merdeka. Akhirnya tugas
tersebut terselesaikan pada tanggal 22 Juni 1945 dan hasil rumusannya
disebut dengan “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter” sesuai dengan
nama yang diberikan oleh Moh. Yamin.
Di
dalam Piagam Jakarta itu juga dirumuskan lima asas yang akan diusulkan
menjadi dasar falsafah Negara Indonesia Merdeka, yaitu :
1. Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwaKilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan terutama mengenai rumusan Pancasila itu kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945.
Dalam
siding BPUPKI yang kedua membahas rencana Undang Undang Dasar beserta
pembukaannya. Mula mula dibentuk “Panitia Perancang Undang undang Dasar”
yang diketuai oleh Ir.Sukarno. Panitia ini menyetujui isi pembukaan
Undang Undang Dasar diambilkan dari Piagam Jakarta dengan beberapa
perubahan. Sedangkan untuk merumuskan undang undang dasar, panitia
perancang undang undang dasar membentuk “Panitia Kecil Perancang Undang
Undang Dasar(Panitia Hukum Dasar)” yang terdiri atas tujuh orang
anggota, yaitu Prof. Supomo, Mr.Wongsonegoro,Mr.Ahmad Subarjo,Mr.AA
Maramis,Mr.RP Singgih, Haji Agus Sali dan Dr. Sukiman.
Hasil
perumusan UUD dari panitia hukum dasar kemudian disempurnakan dan
diperhalus bahasanya oleh panitia yang terdiri atas Prof. Supomo, Haji
Agus Salim dan Prof. Husein Djoyodiningrat.
Dalam akhir persidangan Ir. Sukarno melaporkan hasil kerja panitia perancang UUD kepada sidag yang berisi :
a. Pernyataan Indonesia merdeka
b. Pembukaan Undang Undang Dasar
c. Undang Undang Dasar (Batang Tubuh)
Akhirnya
sidang BPUPKImenerima bulat hasil kerja panitia tersebut. Setelah
rancangan Undang Undang Dasar berhasil disusun, maka selesailah tugas
BPUPKI dan pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan.
III. Pembentukan PPKI dan Peranannya,
Setelah
BPUPKI dibubarkan, maka untuk menangani tugas selanjutnya dibentuklah
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dalam bahsa Jepang
disebut Dokuritsu Junbi Iinkai pada tanggal 7 Agustus 1945,dengan tugas
melanjutkan pekerjaan BPUPKI dan mempersiapkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pelaksanaan kemerdekaan atau pemindahan kekuasaan dari
Jepang kepada Indonesia, yang diketuai oleh Ir. Sukarno dengan wakilnya
Drs. Moh. Hatta dan sebagai penasehatnya adalah Mr.Ahmad Subardjo.
Mereka yang diangkat sebagai anggota PPKI terdiri atas tokoh tokoh
nasionalis diberbagai daerah.
Pembentukan
PPKI ini langsung ditangani oleh Marsekal Terauci,yang menjabat sebagai
Panglima Tertinggi bala tentara Jepang di Asia Tenggara yang
berkedudukan di Dalath,Vietnam. Pada tanggal 9 Agustus 1945 ,dalam
rangka peresmian PPKI,Ir Sukarno, Drs. Moh Hatta dan Dr.Radjiman
Wedyodiningrat dipanggil menghadap Terauci ke Dalath,Vietnam. Dalam
pertemuan tanggal 12 Augtus1945, kepada para pemimpin bangsa kita
Marsekal Terauci menyampaikan hal hal sebagai berikut :
1. Pemerintah Jepang memutuskan untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia
2. Untuk pelaksanaan kemerdekaan telah dibentuk PPKI
3.
Pelaksdanaan kemerdekaan segera setelah persiapan selesai dan berangsur
angsur di mulai dari pulau Jawa kemudian pulau pulau lainnya
4. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda
Pada
tanggal 15 Agustus 1945 tersiar berita kekalahan Jepang terhadap sekutu
yang diketahui para pemuda pejuang bangsa Indonesia dari siaran radio
dengan pemancar gelap, seperti Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, BM
Diah dan pemuda pemuda lainnya dari Menteng 31.Tersiarnya berita
kekalahan Jepang terhadap sekutu menimbulkan terjadinya situasi Vacum of
Power (kekosongan kekuasaan) di Indonesia,hal ini membuat
mereka para pemudabertekad untuk merebut kemerdekaan pada saat sekutu
belum tiba di Indonesia untuk melucuti tentara Jepang.
Sementara
itu para pemimpin dari golongan tua yang baru pulang dari luar negeri
merasa ragu akan berita itu. Ketika mereka didesak para pemuda untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, Sukarno
Hatta meminta waktu untuk bermusyawarah dengan para anggota PPKI.
Apabila janji Jepang itu ditepati, adalah lebih baik karena akan
mengurangi korban jiwa, namun juga muncul keraguan bagaimana bila Jepang
ingkar janji ? oleh karena itulah maka golongan tua ingin bermusyawarah lebih dahulu dengan anggota PPKI, kelambanan seperti ini tidak disukai para pemuda.
Karena
belum berhasil membujuk Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan
pada tanggal 15 agustus 1945, maka pada malam hari para pemuda
mengadakan rapat sendiri di Lembaga Bakteriologi Jln. Pegangsaaan Timur
yang dipimpin oleh Chairul Saleh, dengan keputusan yang menunjukkan
tuntutan tuntutan yang radikal dari golongan pemuda, antara lain
menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan persoalan rakyat
Indonesia sendiri, tidak dapat digantungkan kepada bangsa lain. Segala
ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus
diputuskan, sebaliknya, diharapkan adanya perundingan dengan Ir.Sukarno
dan Drs. Moh Hatta agar mereka dapat turut menyatakan proklamasi.
Darwis
dan Wikana adalah tokoh pemuda yang menyampaikan hasil rapat dari
lembaga Bakteriologi kepada Ir. Sukarno. Para pemuda menghendaki agar
proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Bung Karno pada
keesokan harinya tanggal 16 Agustus 1945. Namun Bung Karno tetap
bersikeras membicarakan terlebih dahulu dengan PPKI, bahkan beliau
sempat marah, sehingga terjadi ketegangan antara golongan pemuda yang
diwakili Darwis-Wikana dengan Ir.Sukarno yang juga disaksikan oleh tokoh
nasionalis dari golongan tua lainnya. Inti dari ketegangan tersebut
adalah adanya perbedaan pendapat antara golongan tua dengan golongan
muda tentang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.Peristiwa inilah yang
nanti memicu para pemuda melakukan penculikan terhadap Ir. Sukarno dan
Drs. Moh. Hatta, yang dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok.
Sejarah Indonesia sebelum merdeka
Masa penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk ke Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia dengan mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun 1602. Karena pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang tionghoa dan inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Berbagai perjanjian dibuat. Salah satunya adalah perjanjian Bongaya. Akan tetapi, Sultan Hasanuddin tidak mematuhi perjanjian tersebut dan melawan Belanda. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya VOC sampai d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian Giyanti yang isinya adalah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Setelah VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes van den Bosch. Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan (20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di Indonesia digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942. Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus 1945. Di Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang antara lain adalah PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai (pengganti Putera).
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di daerah Cot Plieng aceh perlawanan terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di daerah tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat. Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di daerah Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka. Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang. Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok. Perisiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan terhadap Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat pelaksanaan proklamasi. Setelah kembali ke Jakarta dari Rengasdenglok, Soekarno dan Hatta menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang dibantu oleh Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Setelah konsep selesai, Sayuti Melik menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
sejarah singkat perjuangan indonesia tuk merdeka
Sejarah Singkat Perjuangan Indonesia
A.Sejarah Perjuangan Bangsa.
B. Era Sebelum Penjajahan
Sejak tahun 400 Masehi sampai dengan tahun 1617, kerajaan-kerajaan yang ada di Bumi Persada Nusantara adalah kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Kediri, Singasari, Majapahit, Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Goa dan lain-Iainnya, merupakan kerajaan-kerajaan yang terbesar di seluruh Bumi Persada Nusantara. Nilai yang terkandung pada era sebelum penjajahan adalah rakyat yang patuh dan setia kepada rajanya membendung penjajah dan menjunjung tinggi kehormatan dan kedaulatan sebagai bangsa monarchi yang merdeka di bumi Nusantara.
C. Era Selama Penjajahan
D. Era Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan.
imulai dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1949; dimana pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang me!alui Perjanjian Kalijati. Selama penjajahan Jepang pemuda ¬pemudi Indonesia dilatih dalam olah kemiliteran dengan tujuan untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pelatihan tersebut melalui Seinendan, Heiho, Peta dan lain-lain, sehingga pemuda Indonesia sudah memiliki bekal kemiliteran. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu disebabkan dibom atomnya kota Hirosima dan Nagasaki. Kekalahan Jepang kepada Sekutu dan kekosongan kekuasaan yang terjadi di Indonesia digunakan dengan sebaik-baiknya oleh para pemuda Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Dengan semangat juang yang tidak kenal menyerah yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta keikhlasan berkorban telah terpatri dalam jiwa para pemuda dan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaannya, yang kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Kedua), dan pemberontakan PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Era merebut dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya dan lengkap sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Nilai-nilai kejuangan yang terkandung dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan ‘adalah sebagai berikut :
1. Nilai kejuangan relegius (iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).
2. Nilai kejuangan rela dan ikhlas berkorban.
3. Nilai kejuangan tidak mengenal menyerah.
4. Nilai kejuangan harga diri.
5. Nilai kejuangan percaya diri.
6. Nilai kejuangan pantang mundur.
7. Nilai kejuangan patriotisme.
8. Nilai kejuangan heroisme.
9. Nilai kejuangan rasa senasib dan sepenanggungan.
10. Nilai kejuangan rasa setia kawan.
11. Nilai ke juangan nasionalisme dan cinta tahah air
12. Nilai kejuangan persatuan dan kesatuan.
Dari uraian tersebut diatas bahwa sejarah perjuangan bangsa memiliki peranan dalam memberikan kontribusi niJai-niiai kejuangan bangsa dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan untuk tetap utuh dan tegaknya NKRI yaitu SATU INDONESIA SATU.
Proses Bangsa Yang Menegara.
Proses bangsa menegara adalah suatu proses yang memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang ada di dalamnya merasakan sebagai bagian dari bangsa dan terbentuknya negara merupakan organisasi yang mewadahi bangsa serta dirasakan kepentingannya oleh bangsa itu, sehingga tumbuh kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya negara melalui upaya Bela Negara. Dalam rangka upaya Bela Negara agar dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya sebagai dorongan/motivasi adanya keinginan untuk sadar Bela Negara sebagai berikut : Bangsa Yang Berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya “Tuhan” disebut Agama; Bangsa Yang Mau Berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; Bangsa Yang Mau Berhubungan Dengan lingkungan, berhubungan sesamanya dan alam sekitarnya disebut Sosial; Bangsa Yang Mau Berhubungan Dengan Kekuasaan, disebut Politik; Bangsa Yang Mau Hidup Aman Tenteram dan Sejahtera, berhubungan dengan rasa kepedulian dan ketenangan serta kenyamanan hidup dalam negara disebut Pertahanan dan Keamanan.
Pada zaman modern adanya negara lazim_ya dibenarkan oJeh anggapan-anggapan atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula halnya menurut bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan di dalam Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945, adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan, yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus dihapuskan. Apabila “dalil” inj kita analisis secara teoritis, maka hidup berkelompok “baik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) harus berperikemanusiaan dan harus berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling mendasar dari pada bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang kedua yang memerlukan suatu analisa ialah bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, mengapa dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang kadang-kadang dapat saling bertentangan. Perbedaan konsep tentang negara yang dilandasi oleh pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya, sehingga perlu kita pahami filosofi ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam kaitannya dengan ideologinya. Namun di dalam penerapannya pada zaman modern, teori yang universal ini didalam kenyataannya tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut wilayah yang sama, demikian pula halnya banyak pemerintahan yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa pengakuan dari bangsa lain, memerlukan mekanisme yang memungkinkan hal tersebut adalah lazim disebut proklamasi kemerdekaan suatu negara.
Perkembangan pemikiran seperti ini mempengaruhi pula perdebatan di dalam PPKI, baik didalam membahas wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan UUD 1945 yang sebenarnya direncanakan sebagai naskah Proklamasi. Oleh karena itu merupakan suatu kenyataan pula bahwa tidak satupun warga negara Indonesia yang tidak menganggap bahwa terjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, sekalipun ada pihak-pihak terutama luar negeri yang beranggapan berbeda dengan dalih teori yang universal
Palagan Ambarawa 12-15 Desember 1945
Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani, pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta berondongan persenjataan modern milik para penjajah.
Sungguh perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi anak cucunya nanti.
Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Dan hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.
Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan
Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.
Jumat, 07 Juni 2013
SEJARAH INDONESIA MELAWAN PENJAJAH JEPANG
HINDIA
BELANDA – Ribuan prajurit Jepang melompat dari kapal-kapal pendarat dan
kemudian bergerak maju untuk menguasai ladang minyak di Balikpapan.
Sementara itu setelah menguasai Hindia Belanda, seperti Pulau Jawa yang
subur
Pertaroengan diteloek Banten Menandoeng Sedjarah. Jedjadian ini tidak
diloepakan oenteok selam-lamanja. Saat itoelah pada tg. 1 Maret 2602
Balatentara Dai Nippon mendarat dan menamatkan riwajat penindasan
Belanda, Jang dimoelai oleh C.v Houtman pada tiga abad jang laloe.
Rakjat menjamboet kedatangan Balatentara Nippon dengan gembira. Ternjata
pendaratan hingga sekarang pendoedoek Banten-Sju bekerja giat bersama
Balatentara.Kutipan tersebut diambil dari majalah bergambar dua mingguan Djawa Baroe terbitan 1 Maret 2604 Showa atau 1944 Masehi, sebagai awal tulisan berjudul Kissah Pendaratan Balatentara Nippon Ditanah Djawa – Riwajat Belanda moelai dan tammat di Banten. Dalam tulisan ini, dikisahkan tentang daratan pasukan Jepang lainnya di Cretan dan Jawa Timur, hingga .ienyerahnya tentara Belanda. “…Dengan Tergesa-gesa Tjarda dan Ter Poorten lari e Kalidjati, hendak menemoei Panglima Balatentara Nippon. Maksoednja Menjatakan tidak tahan lagi berperang melawan Balatentara Nippon jang gagah berani itoe. Mereka hendak menjerah tidak memakai perdjandjian apa-apa. Balatentara Nippon melihat kedoea pahlawan Belanda ini merasa sangat kasihan dan menerima penjerahan nereka. Dengan perasaan sedih dan menjesal akan kekeliroean sendiri, maka Tjarda dan Ter Poorten keloear dari ,goeboek ketjil—tempat permoesiawaratan di Kalidjati dengan keinsafan, bahwa mereka terdieroemoes oleh Sekoetoenia, Inggeris-Amerika, jaitoe : “Memakloemkan perang pada Dai Nippon dengan tidak tahoe apa maksoednja !”
Sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia, salah satu negeri di Selatan atau Nanyo yang sudah lama diincarnya, baik karena kekayaan cumber alamnya maupun letaknya yang strategic dan menentukan untuk urat nadi perniagaan internasionalnya. Mengingat invasi Jepang terhadap Hindia Belanda dilakukan oleh kekuatan gabungan AL dan AD (Tentara ke-16) yang dipimpin Letjen Hitoshi Imamura, maka begitu seluruh wilayah ini berhasil didudukinya, langsung dibagi dalam dua kekuasaan. AL atau Kaigun menguasai Kalimantan dan semua wilayah Indonesia bagian timur, sementara Jawa Madura Berta Sumatra diserahkan kepada Rikugun atau AD.
Wilayah Indonesia sendiri seluruhnya berada di bawah Komando Selatan yang berpusat di Saigon, Vietnam. Pimpinannya adalah Marsekal (Darat) Hisaichi Terauchi, yang tugasnya mengawasi operasi militer Jepang di seluruh wilayah pendudukannya di Asia Tenggara. Dengan kekuasaan nyata di tangan militer, baik AD maupun AL, maka sistem pemerintahan pendudukan Jepang baik di Indonesia maupun wilayah lain di Asia Tenggara, semuanya bersifat militeristis.
Akhir bulan madu
Karena itu tidak heran apabila dalam waktu singkat “bulan madu” antara balatentara Dai Nippon dengan rakyat Indonesia meredup, lalu berakhir. Selanjutnya yang terjadi adalah bentuk penjajahan barn oleh sesama bangsa Asia. Aspirasi nasionalisme bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang telah dirintis sejak mass penjajahan Belanda, tidak lagi memperoleh tempat. Padahal sewaktu Jepang memasuki Indonesia, rakyat pada umumnya menyambut gembira, mengelu-elukan apa yang mereka kira akan menjadi “pembebas”.
Jepang pun pada awalnya dalam usaha memperoleh dukungan rakyat negeri-negeri, Asia Tenggara yang mereka serbu, selalu mengetengahkan slogan “Asia untuk bangsa Asia sendiri”, yang artinya bangsa Barat sebagai penjajah harus enyah dari Asia. Untuk itu jepanglah yang mempelopori pengusiran penjajah Barat dengan meletupkan perang Asia Timur Raya. Namun slogan itu pun dapat diartikan bahwa penjajahan terhadap bangsa Asia sebaiknya dilakukan oleh sesama bangsa Asia. Penjajah itu adalah Jepang sebagai bangsa Asia termaju yang memiliki aspirasi untuk berekspansi.
Cara menjajah yang keras bahkan kejam dalam sistem pemerintahan militer, segera dirasakan oleh rakyat Indonesia, terutama mereka yang di luar Jawa. AL Jepang atau Kaigun yang tidak punya “pengetahuan dan pengalaman teritorial” seperti AD (yang pernah berkuasa atau memerintah di Formosa dan Manchuria), sikapnya lebih keras dalam menguasai rakyat. Karena itu tak mengherankan bila acap terjadi kekejaman dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kaigun, seperti yang terjadi di Kalimantan dan wilayah lain di Indone¬sia Timur. Siapa pun baik perorangan maupun kelompok yang dicurigai bersikap anti-Jepang, langsung ditangkap oleh polisi militer AL yang disebut Tokkeitai. Dalam coal kekejaman, mereka ini Bering dianggap lebih brutal daripada Kempeitai, polisi militer AD yang amat ditakuti orang. Ketahuan menyembunyikan pesawat radio misalnya, berarti hukuman berat termasuk mati.
KEBAIKAN
JEPANG-Selain dikenal sebagai tentara yang brutal dan ganas, tentara
Jepang banyak yang bersikap baik. Salah satu kebaikan itu adalah
membentuk satuan tentara ayng anggotanya dari pemuda lokal, Heiho,
sehingga mereka mampu memiliki kemahiran bertempur
Rakyat kelaparanKarena Jawa dianggap lebih maju dan potensial daripada daerah-daerah lain ketika itu, maka sikap Jepang di Jawa “lebih modest” sekalipun tetap saja menerapkan kekuasaannya dengan keras. Bangunan ekonomi dan perdagangan tinggalan masa Belanda hancur, balk perkebunan, industri, maupun niaga. Kekurangan sandang dan pangan mewarnai kehidupan sehari-hari rakyat, sehingga tak jarang berbagai jenis tumbuhan atau hewan yang tidak lazim untuk dikonsumsi terpaksa dimakan, seperti bekicot dan daun-daunan. Pemerintah pendudukan Jepang selalu mendorong dan memaksakan peningkatan hasil pertanian makanan di Jawa, karena hasilnya sebagian besar harus disetorkan untuk mendukung upaya perangnya. Tak heran penduduk Jawa yang ketika itu sekitar 50 juta jiwa, banyak yang kelaparan. Tubuh orang-orang yang mati kelaparan, acap ditemukan tergeletak di pinggir jalan.
Dalam
waktu senggangnya tentara Jepang juga menunjukan sifat manusiawinya
seperti mengunjungi kebun binatang, Raden Saleh, Cikini, Jakarta
Sebuah tulisan di Djawa Baroe pads 15 Maret 1944 menyebutkan days
upaya untuk melipat gandakan hasil pangan di Jawa yang hasilnya wajib
diserahkan kepada Jepang. “….berarti segala ichtiar dan tindakan jang
sampai hari ini diambil oleh Goenseikanboe diperkokoh dan diperloeas.
faitoe, misalnya tentang pengoempoelanpadi, atas kekoeasaan dan
pertanggoengan djawab Sjoetjokan mengandjoerkan setjara koeat serta
menggiatkan penjerahan padi. Dengan demikian diatoer perimbangan
diantara keboetoehan Balatentara dengan keboetoehan dalam negeri. ”
Pengumpulan padi atau bahan pangan ini diawasi dan dilakukan oleh
organisasi yang dibentuk di setiap pelosok daerah yang dinamakan
“Syokuryo Hanso Tai Shin Tai” atau barisan pelopor untuk pengangkutan
bahan pangan. Tentu saja pengangkutan ini mengarah ke gudang pangan
Balatentara Nippon.Penderitaan akibat kurangnya bahan pangan ini tentu berdampak terhadap kondisi kesehatan, sehingga penyakit seperti busung lapar, beri-beri, dan berbagai penyakit lainnya akibat kurang gizi berkembang di tengah rakyat. Angka kematian pun meningkat. Rakyat mulai membenci Jepang karena penderitaan ini, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa pun karena ketat dan kerasnya pengawasan serta tindakan dart Jepang dengan Kempeitai-nya. Sekalipun demikian pernah terjadi beberapa protes dan pemberontakan lokal akibat kewajiban menyerahkan hasil panenan kepada penguasa pendudukan Jepang. Misalnya yang terjadi di daerah Pekalongan dan Singaparna, yang lalu dipadamkan oleh tentara Jepang dengan kejam sehingga banyak petani terbunuh.
Banyak hal lain dilakukan pemerintah pendudukan Jepang, namun semua akhirnya tertuju demi kepentingan perangnya sendiri. Mulai dart pembentukan Tonari-gumi atau Rukun Tetangga, usaha meningkatkan produksi pangan, obat¬obatan, ban kendaraan, pengumpulan buah jarak, sekolah pelayaran, sekolah pertukangan, latihan kemiliteran untuk pemuda, pembentukan Heiho, dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), hingga pembentukan Djawa Hookoo Kai atau Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa). Himpunan ini tujuannya adalah memobilisasi potensi segala lapisan dan golongan rakyat guna mendukung tercapainya “kemenangan akhir”
Sejarah Antara Anyer dan Panarukan
Kilasan Sejarah Antara Anyer dan Panarukan
Pandeglang (10/04)
“Kilasan Sejarah Antara Anyer dan Panarukan”
PANDEGLANG, Anda pernah mendengar Nama Daendels..??
Ya, tokoh yang sering kita dengar ini memang penuh kontroversi.
Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama
Daendels, adalah nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah
memerintah di bumi kita tercinta ini antara tahun 1808 dan 1811.
Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal
sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan,
dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda
dan pribadinya.Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.
Dan untuk melakukan tugas itu, dirinya berusaha membangun Jalan antara Anyer sampai dengan Panarukan. Menurut beberapa sumber sejarah, Jalur jalan ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor).
Sebuah tulisan yang dibuat oleh DN. Halwany, dapat menjadi referensi kita untuk mengenal tokoh ini. Berikut ini tulisan tersebut, yang saya ambil dari Blog-nya PERPUSTAKAAN HALWANY
—————————————————————-
Misteri Perjalanan Dendles Di Banten
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.
Rute jalan Daendels di Kabupaten Serang sampai saat ini sebetulnya masih dihantui oleh kesimpangsiuran informasi. Karena yang beredar di masyarakat ada dua pendapat ada yang berpendapat bahwa jalan Daendels melewati Kabupaten Lebak, namun ada juga yang menyatakan hanya melewati Kabupaten Serang saja. Memang, menelusuri jalan Daedels dari titik km nol di Anyer hingga 1000 km di Panarukan, orang sering bingung untuk menentukan rute yang benar apakah melalui Serang ataukah melalui Lebak, beberapa masyarakat yang dihubungi, hanya mengenal jalan Daendels dari Anyer sampai Serang. Tidak itu saja di Banten juga banyak jalan-jalan yang bercabang dan masyarakat setempat menamakannya jalan Daendels.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembuatan jalan Deandels saat itu melakukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Di daerah tertentu, banyak rute khusus yang sengaja di bangun oleh Daendels pada masa itu terutama daerah pusat Kabupaten karena untuk mempermudah transportasi pengangkutan rempah-rempah keluar daerah tersebut. Banten merupakan tempat yang paling banyak memiliki cabang-cabang Jalan Deandels sebab Banten cukup banyak menghasilkan rempah-rempah. Anyer dijadikan titik km nol karena kota ini sudah di pola Daendels untuk mempermudahkan pengangkutan hasil bumi dari Banten menuju dua pelabuhan yaitu pelabuhan Merak dan Pelabuhan Ujung Kulon. Banten sendiri sudah dilokalisasi dalam segi hasil bumi oleh Daendels karena Banten Subur dan Kaya akan hasil buminya terutama rempah-rempah.
Hingga saat ini, sebagian besar jalan Daendels masih terpakai bahkan yang lama sengaja diperbaharui supaya dapat digunakan. Jalan Daendels yang tidak dapat digunakan lagi adalah daerah Pontang dan Bayah, karena hancur dan tidak diperbaiki kembali. Sementara itu Daendels sempat memerintahkan pembuatan jalan di selatan Pulau Jawa, rutenya di mulai dari sebelah barat Jawa yakni; Bayah menuju Pelabuhan Ratu, terus ke selatan ke daerah Sukabumi, Cimanuk dan seterusnya hingga ke Pangandaran, Purwokerto dan Yoyakarta. Jalan Daendels yang lebih di kenal oleh masyarkat adalah jalan bagian utara Jawa, ini disebabkan karena jalan di utara melalui rute yang berhadapan langsung dengan rute Batavia, sedangkan jalan bagian selatan Jawa selain kondisi jalannya rusak banyak juga yang terputus seperti jalan Bayah sampai Citorek.
Ada beberapa versi mengenai sejarah pembuatan jalan ini, ada yang mengatakan bahwa Daendels membuat jalan Anyer – Panarukan ini karena ingin mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, sehingga Pulau Jawa perlu dibangun jalan guna menghubungkan suatu daerah ke daerah lain agar dapat mempercepat kabar berita dan alur transportasi. Secara kronologis, pada tahun 1808 datanglah Herman Willem Daendels dari Belanda ke Banten, waktu ia datang ke Indonesia negaranya tengah di jajah oleh Perancis. Sebagai murid yang disayangi Napoleon, akhirnya Daendels dikirim ke Indonesia untuk menggantikan Gubernur Jendral dari Belanda yang ada di Indonesia oleh Napoleon Bonaparte (Dr. H.J. de Graaf; 363-370, 1949). Dengan segala upaya akhirnya Daendels mendapatkan bantuan dari rakyat Banten berupa rempah-rempah untuk dikirim ke Perancis dan Belanda sebagai upeti, jadi tidak mengherankan jika ia membuat kerja rodi dan tanam paksa (verplichte diensten) karena jika tidak, ia tidak bisa memberikan upeti pada kedua negara itu.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.
Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.
Keadaan jalan Daendels saat ini dari titik nol km yang bertempat di Anyer Kidul, Desa Cikoneng menuju Serang maupun Pandeglang dibandingkan dengan situasi dan kondisi 180 tahun yang lalu, memang jauh berbeda baik cara hidup masyarakat setempat ataupun alam sekitarnya. Pada saat tanam paksa pembuatan jalan hanya hutan belantara dengan kehidupan binatang yang ada dan di dukung oleh keadaan pantai yang indah menawan belum terjamah manusia. Puluhan orang pribumi atas perintah paksa menerobos hutan dan jadilah jalan tembus untuk mempernudah arus angutan hasil-hasil bumi. Menurut ceritera penduduk setempat, pada pembuatan jalan Daendles (kerja rodi) ini setiap jarak 25 meter di tanami pohon asem di pinggir badan jalan, itu dilakukan agar badan jalan yang telah di buat tetap terpelihara adan terjaga.
Menginjak tahun 1950-an, sepanjang jalan pantai Selat Sunda ini masih sunyi, karena tidak seminggu sekali pun kendaraan roda empat melintas ke tempat ini kecuali kereta api yang melintas jurusan Rangkasbitung – Anyer itupun sehari sekali pulang-pergi mengangkut para penumpang, tapi sejak tahun 1970 di Anyer tak ada lagi ada kereta api yang melintas dan yang ada tinggal sebuah stasiun tua yang sunyi dan sepi. Beberapa masyarakat berpendapat waktu tahun 1972, jangankan malam hari pada siang hari saja masih sering menemukan rombongan binatang seperti; monyet, kancil, manjangan, kelinci maupun sesekali terlihat macan. Sekarang jalan itu telah ramai di lalui kendaraan bermotor, tak kelihatan lagi gerobak yang biasa lewat mengangut singkong ataupun pisang malah yang banyak terlihat tembok-tembok bangunan milik penduduk berjejer bahkan vila dan hotel pun telah menutupi hampir semua kawasan pantai Selat Sunda itu. Tidak hanya itu saja pabrik-pabrik pun telah memadati kawasan ini termasuk tambak udang, sekarang tidak ada lagi kelihatatan binatang liar yang bebas bergelantungan di pohon-pohon maupun bergerombol di pinggiran jalan. Binatang ini telah pergi entah kemana. ***
Cerita Rakyat Banten “Gubernur Jendral Herman Willem Dendles”
Herman Willem Daendels atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Daendels, adalah nama seorang Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah di bumi kita tercinta ini antara tahun 1808 dan 1811. Berdasarkan buku-buku sejarah, Gubernur Jenderal Daendels dikenal sebagai seorang diktator yang sangat kejam, tidak berperikemanusiaan, dan selalu menindas rakyat demi keuntungan pemerintah Kolonial Belanda dan pribadinya. Sebelum meninggalkan negeri Belanda menuju Jawa, Daendels menerima dua tugas yang diberikan oleh Louis Napoleon, yang menjadi raja di negeri Belanda pada saat itu. Kedua tugas itu adalah: mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.
Kedua tugas ini diberikan kepadanya mengingat bahwa pada saat itu negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte, dan Inggris adalah salah satu negara yang belum bisa ditaklukkan Prancis yang saat itu. (Eymeret: 1973: 29). Pada tanggal 28 Januari 1807 Daendels menerima tugas untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda langsung dari Louis Napoleon atas perintah dari Napoleon Bonaparte. Persiapan keberangkatannya pun dilakukan. Pada tanggal 9 Februari 1807, Louis Napoleon menandatangani instruksi yang harus dilakukan oleh Daendels. Instruksi itu terdiri atas 37 pasal. Pada bulan Maret, Daendels berangkat secara diam-diam, agar tidak diketahui pihak Inggris, melalui Paris, kemudian ke Lisabon dengan menaiki kapal Amerika dan mengubah namanya menjadi Van Vlierden. Dari Lisabon Daendels berlayar menuju Kepulauan Kanari selanjutnya menuju pulau Jawa. (Paulus: 1917: 554). Pada tanggal 1 Januari 1808, setelah menempuh perjalanan selama 10 bulan, Daendels mendarat di Anyer hanya dengan didampingi oleh seorang ajudannya dan tanpa memiliki surat-surat kepercayaan. Dari Anyer dia melalui jalan darat menuju ke Batavia untuk menemui gubernur jenderal saat itu, yaitu Henricus Albertus Wiese (Stapel: 1940: 35). Tampaknya Wiese telah menerima berita pengangkatan Daendels. Pada tanggal 14 Januari 1808 Wiese menyerahkan kekuasaannya kepada Daendels.
———————————————————-
Hubungan Daendels dengan Raja-Raja di Jawa Barat
Sebenarnya Daendels melakukan intervensi terhadap kekuasaan kesultanan di Jawa, yakni: Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), Yogyakarta dan Surakarta (Vorstenlanden). Namun, sesuai dengan tema seminar ini, hanya akan dibahas hubungan Daendels dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Hubungan antara Daendels dan raja Banten bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon. Ribuan pekerja dikerahkan untuk membuat jalan dan pelabuhan itu. Dalam pekerjaan ini terjadi banyak korban manusia baik yang berasal dari kalangan pribumi maupun dari kalangan orang Eropa, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. Untuk melanjutkan proyek itu Daendels meminta kepada Sultan Banten saat itu, untuk menyediakan tenaga baru dari Banten. Sultan Banten menolak permintaan itu mengingat banyaknya korban yang sakit dan mati karena penyakit. Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirimkan utusannya yang bernama Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar bersedia mengirimkan rakyatnya. Du Puy diserang dan dibunuh. Keadaan ini membuat Daendels marah, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Banten. Sultan Banten menyerah dan diasingkan ke Ambon, sementara pemerintahan diserahkan kepada putra mahkota (Murdiman: 1970:14). Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan kondisi di Banten. Pada akhir abad ke 18, di kraton-kraton Cirebon cukup kacau akibat konflik di dalam kraton. Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya, untuk menjalankan
Sumber lain menyebutkan bahwa Daendels pergi ke Jawa melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari, New York baru menuju ke Jawa dengan menggunakan kapal Amerika (Graaf: 1949: hal. 363). pemerintahan di kraton dilakukan oleh beberapa adipati. Ketika sultan wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal juga secara mendadak. Sementara itu putranya yang diharapkan menggantikannya usianya masih sangat muda. Akibatnya, pemerintahan di dalam kraton diserahkan kepada walinya hingga tahun 1799. Kondisi kraton menjadi sangat kacau ketika putra Sultan yang dulu dibuang ke Maluku melakukan pemberontakan. Ia ditangkap dan dibawa ke Batavia. Sementara itu Sultan Kanoman meninggal tahun 1798. Namun, yang menggantikan bukan putra mahkota, melainkan orang lain. Hal ini mengakibatkan kekacauan yang mengakibatkan banyak orang Cina terbunuh. Akibat kerusuhan ini putra mahkota Kanoman ditangkap dan dibawa ke Batavia karena dianggap mendalangi kerusuhan itu. Ribuan rakyat protes ke Batavia, tetapi bisa dihalau di Krawang. Akibat dari kejadian ini semua, putra mahkota Kanoman dibuang ke Ambon. (Lubis, 2000: 45-47) Pada masa Daendels menjadi gubernur jenderal. Oleh Daendels para penguasa kerajaan tidak diijinkan menggunakan sebutan sultan lagi, melainkan menggunakan sebutan pangeran. Menurut sumber sejarah, Kesultanan Banten mulai berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda semenjak Sultan Banten menandatangani perjanjian dengan Belanda yang dilakukan oleh Sultan Safiuddin pada tanggal 28 Nopember 1808. Setelah penandatangan dan pengucapan sumpah pada tanggal itu, istana Sorosowan yang juga dikenal dengan istilah Benteng Intan dihancurkan belanda sebagai hukuman atas meninggalnya pejabat tinggi negara dan pejabat rendah yang dibunuh oleh abdi dalem Sultan.
—————————————–
Jatuhnya Kesultanan Banten berdasarkan arsip yang ada
Berdasarkan
ringkasan daftar keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels yang dibuat di Banten tanggal 22 Nopember 1808 terdapat dua hal
yang berkaitan dengan jatuhnya Kesultanan banten, yaitu: Pertama, Berita Acara terbunuhnya Komandan Du Puy dan Letnan Kohl serta seorang Eropa dan tiga anggota militer pribumi dan kedua
perintah untuk Raja Banten. Daendels menerima laporan terbunuhnya
Komandan Du Puy, Letnan Kohl, tiga orang Eropa dan tiga anggota militer
pribumi. Pada saat Du Puy dipanggil oleh utusan Sultan agar datang
menghadap ke Benteng Intan (Istana Sorosowan), Komandan Du Puy diserang
oleh adipati Pangeran Wargadiraja hingga meninggal. Sultan dianggap
mengetahui rencana pembunuhan itu dan tidak melakukan apa-apa, bahkan
membiarkan para penyerang merusak mayat Du Puy, kemudian dengan sangat
kejam menyeretnya menuju sungai dan menenggelamkannya. Kejadian ini juga
menimpa para anggota militer Eropa dan pribumi yang menyertai Du Puy ke
sana. Wakil pemerintah yang ditugaskan ikut menjaga Kraton yang bernama
Kapten Kohl, pada malam sebelum pembunuhan itu dibuat mabuk, sehingga
Sultan dianggap dengan bebas bisa membunuhnya esok harinya. Sultan tidak
melakukan tindakan pencegahan sedikitpun. Selain itu juga ada tuduhan
pemerintah Hindia Belanda kepada Sultan Banten yakni: adanya serangan
terhadap tiga orang serdadu Eropa yang dikirim ke teluk Anyer. Namun,
tidak semuanya berhasil dibunuh, karena sebagian bisa melarikan diri ke
seberang.Selanjutnya Daendels memberikan instruksi bagi Raja Banten yang baru, untuk mengesahkan tata cara berikut upacara bagi Prefect Banten, apabila dia tiba sebagai wakil pemerintahan umum Paduka Raja.
1. Tidak ada upacara yang dilakukan apabila pada kesempatan ini Prefect tidak sedang diminta untuk menghadap raja;
2. Dalam kesempatan resmi tergantung pada kondisi, Prefect setelah menyampaikan kepada raja alasan pertemuan ini, oleh empat utusan dikawal dan upacra dari pihak raja Banten akan diadakan sesuai kebiasaan;
3. Prefect setelah mendekati raja akan dilengkapi dengan sebuah payung besar yang baik pada sisi dalam maupun luarnya dicat kuning dan diberi warna pinggi emas dan batangnya lebar, dan selain itu akan dicat biru muda dengan tombol emas, yang harus dipegang oleh seorang pembantu sampai di rumah ketika dia harus diterima oleh raja dengan seluruh ikat kepalanya.
4. Raja harus berdiri dari kursinya ketika Prefect memasuki istana dan harus menyambutnya ketika Prefect di sini menyampaikan salamnya kepada raja, seperti halnya diadakan upacara secara cermat ketika kembali terjadi dia duduk di sebelah kanan raja dan kemudian disesuaikan dengan pemilihan.
5. Dalam peristiwa upacara ini bisa ditunjukan bahwa kepada raja ketika tampil di depan umum dan Prefect kebetulan ada di sana, harus digandeng tangannya di bawah pengawasan Prefectdan dipayungi.
6. Apabila raja menghampiri Prefect, ketika memasuki benteng Speelwijk atau di tempat lain di mana pejabat ini biasa tinggal, dilepaskan tiga tembakan senapan, dan kepada Prefect wajib menyambutnya, membawanya masuk namun para pejabat rendahan bisa menerimanya di depan atau di luar kompleks bangunan itu.
7. Juga para pejabat rendahan seperti halnya Prefect baik yang berjalan kaki maupun berkereta dan berkuda bisa berangkat dan dinaiki bila mereka kebetulan berhalangan.
8. Apabila seorang Prefect atau pejabat lain bertemu dengan raja di tengah jalan, setiap orang akan berbagi jalan dan masing-masing memberi salam, namun anggota militer bisa berdiri di depan raja.
9. Apabila Prefect berjalan menghampiri raja, dia akan berjalan di belakang korps prajurit jaga yang terdiri atas seorang sersan, seorang kopral dan 12 orang prajurit biasa.
10. Pada semua upacara lain, sejauh dirasakan perlu oleh Prefect, harus dihadiri pula oleh raja ketika upacara ini diadakan seperti yang ditetapkan dalam pasal 6.
11. Dengan kedatangan Prefect di Banten, Prefect akan menyampaikan kepada raja yang akan memberikan sambutan kedatangannya sebelum dia sendiri menghadap raja.
12. Selain itu kepada Prefect dan raja diberi wewenang untuk saling bertemu secara kekeluargaan tanpa upacara. Setelah itu Prefect dalam semua aspek akan memperhatikan kepentingan martabat negara yang diwakilinya dan memperhatikan agar raja dan para bangsawannya baik dari pihak penguasa Eropa maupun bangsanya sendiri dihormati martabatnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya. Sementara itu ada yang beranggapan jalan Daendels dibuat untuk jalur pos atau Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik dan pemerintahan. Jadi yang dikatakan jalan pos disini maksudnya adalah sebagai sentral untuk pemerintahan agar sistim birokrasi pola pikirnya sampai kebawah.***
Langganan:
Postingan (Atom)